Sayangnya Aku Tinggal di Mandailing
![]() |
| Sebuah ulasan tentang keresahan terhadap tanah kelahiranku. Bagas godang di Mandailing Natal. (Sumber foto: Ist) |
Matamadina99 - Sayangnya, aku tinggal di Mandailing. Di tanah yang seharusnya kaya raya ini, di bumi yang konon katanya dijanjikan kemakmuran oleh langit dan tanahnya yang subur. Tapi, di sini, di Mandailing Natal, aku hanya melihat kemiskinan yang merajalela, politik yang tak berpihak, dan kehidupan sosial yang seperti terperangkap dalam waktu.
Aku tinggal di tempat yang seolah-olah dilupakan oleh kemajuan, di mana harapan hanya menjadi kata-kata yang teronggok di sudut-sudut kampung, tak pernah benar-benar terwujud.
Secara ekonomi, Mandailing Natal seperti terperangkap dalam lingkaran setan kemiskinan. Tanahnya subur, hamparan sawah menghijau, bukit-bukitnya menjulang dengan segala potensi alamnya. Tapi, mengapa masyarakatnya masih banyak yang hidup dalam kekurangan?
Aku melihat petani yang bekerja keras dari pagi hingga petang, tetapi hasil panennya hanya cukup untuk sekadar bertahan hidup, bukan untuk sejahtera. Harga hasil pertanian yang tak menentu, akses pasar yang terbatas, dan minimnya dukungan dari pemerintah membuat mereka seperti berjalan di tempat.
Mereka terjebak dalam sistem yang tidak adil, di mana jerih payah mereka tidak sebanding dengan penghidupan yang mereka dapatkan.
Lalu, ada juga nelayan yang mengarungi lautan lepas, mempertaruhkan nyawa untuk mencari ikan. Tapi, ketika mereka pulang, hasil tangkapan mereka harus bersaing dengan ikan-ikan impor yang membanjiri pasar lokal.
Di mana keadilan bagi mereka? Di mana perlindungan bagi mereka yang hidup dari kekayaan laut Mandailing? Aku hanya bisa menghela napas, karena jawabannya seperti hilang ditelan ombak yang tak pernah berhenti bergulung.
Politik Tak Kalah Memilukan
Politik di Mandailing Natal pun tak kalah memilukan. Pemimpin yang seharusnya menjadi pelayan rakyat, justru seringkali terlihat jauh dari kebutuhan masyarakat.
Mereka sibuk dengan agenda-agenda pribadi, sibuk dengan proyek-proyek yang lebih banyak menguntungkan segelintir orang daripada rakyat banyak.
Aku melihat jalan-jalan yang rusak, sekolah-sekolah yang tak layak, dan puskesmas yang kekurangan tenaga medis. Tapi, di saat yang sama, aku juga melihat proyek-proyek yang seolah hanya menjadi simbol kekuasaan, bukan solusi bagi rakyat kecil.
Pemimpin yang seharusnya peka terhadap jeritan rakyat, justru seperti hidup di menara gading, jauh dari realita yang dihadapi oleh orang-orang seperti aku.
Dan sosial? Kehidupan sosial di Mandailing Natal seperti stagnan, seperti air yang tergenang tanpa aliran. Masyarakatnya ramah, gotong royong masih ada, tapi itu semua seperti tidak cukup untuk membawa perubahan.
Pendidikan yang seharusnya menjadi jalan keluar dari kemiskinan, justru masih jauh dari harapan. Banyak anak-anak yang putus sekolah, terpaksa membantu orang tua di sawah atau laut.
Mereka kehilangan masa depan, kehilangan kesempatan untuk meraih mimpi-mimpi yang lebih besar. Aku melihat potensi-potensi besar yang terbuang percuma, karena sistem yang tidak mendukung, karena kesempatan yang tidak merata.
Budaya dan tradisi yang seharusnya menjadi kekuatan, justru seringkali terpinggirkan. Generasi muda lebih tertarik pada budaya luar, sementara warisan leluhur perlahan-lahan terkikis.
Aku khawatir, suatu saat nanti, Mandailing hanya akan menjadi kenangan, sebuah nama tanpa identitas yang kuat. Kita kehilangan jati diri di tengah arus globalisasi yang tak terbendung.
Namun, di balik semua kepedihan ini, aku masih punya harapan. Aku masih percaya bahwa Mandailing Natal bisa bangkit, bisa menjadi lebih baik. Tapi, untuk itu, kita butuh pemimpin yang benar-benar peduli, yang mau turun ke bawah, yang mau mendengar suara rakyat kecil.
Kita butuh sistem yang adil, yang memberikan kesempatan bagi semua orang untuk maju. Kita butuh pendidikan yang berkualitas, yang bisa membuka pintu-pintu kesempatan bagi generasi muda. Dan yang paling penting, kita butuh kesadaran bersama, bahwa perubahan harus dimulai dari diri kita sendiri.
Sayangnya, aku tinggal di Mandailing. Tapi, aku tidak mau terus meratapi nasib. Aku ingin melihat Mandailing bangkit, melihat tanah kelahiranku menjadi tempat yang lebih baik, tempat di mana mimpi-mimpi bisa tumbuh dan harapan-harapan bisa terwujud.
Aku ingin melihat anak-anak Mandailing bisa meraih pendidikan yang layak, petani dan nelayan bisa hidup sejahtera, dan budaya kita bisa tetap lestari. Aku ingin melihat Mandailing bukan lagi sebagai tempat yang dilupakan, tapi sebagai tempat yang dibanggakan.
Kendati untuk semua itu, kita butuh perubahan. Dan perubahan itu harus dimulai sekarang. Karena jika tidak, aku khawatir, suatu saat nanti, aku akan tetap berkata, "Sayangnya, aku tinggal di Mandailing." Tapi kali ini, bukan karena kemiskinan atau ketertinggalan, tapi karena aku tak pernah berani untuk berubah.
Sayangnya Aku Tinggal di Mandailing
Dilihat Mata Madina 99
di
Februari 20, 2025
Rating:
Dilihat Mata Madina 99
di
Februari 20, 2025
Rating:
