Subscribe Us

26 Tahun Mandailing Natal, Gitu-gitu Aja


Ditulis oleh: Larasati Kirana Rangkuti (Mahasiswa)

Matamadina99 - Dua puluh enam tahun bukanlah waktu yang singkat. Dalam rentang seperempat abad lebih, sebuah daerah seharusnya sudah mampu menunjukkan kemajuan yang signifikan, setidaknya dalam beberapa aspek kehidupan.

Namun, sayangnya, Mandailing Natal atau yang akrab disapa Madina, seolah terperangkap dalam lingkaran stagnansi yang tak berujung. Sejak resmi berdiri sebagai kabupaten mandiri pada 9 Maret 1999, Madina seperti berjalan di tempat, bahkan kadang terasa mundur.

Padahal, sudah empat bupati silih berganti memimpin, dan pada Pilkada 2024, pasangan Saipullah Nasution-Atika Azmi Utammi terpilih sebagai pemimpin kelima. Namun, harapan akan perubahan besar seolah tetap menjadi mimpi yang tak kunjung terwujud.


Mandailing Natal, dengan segala potensi alam dan sumber daya manusianya, seharusnya bisa menjadi kabupaten yang makmur. Tanahnya subur, hamparan sawah menghijau, bukit-bukit menjulang, dan lautnya kaya akan ikan.

Tapi, mengapa setelah 26 tahun, kemiskinan masih menjadi momok yang menghantui? Mengapa lapangan kerja masih sempit, pendidikan masih tertinggal, dan infrastruktur masih jauh dari memadai? Apa yang salah dengan perjalanan kabupaten ini?

Sekelumit Masalah yang Tak Kunjung Teratasi


Pertama, mari kita bicara tentang lapangan kerja. Madina seharusnya bisa menjadi magnet bagi investasi, baik di sektor pertanian, perikanan, maupun pariwisata. Tapi, kenyataannya, banyak pemuda yang memilih merantau ke luar daerah karena minimnya kesempatan kerja di tanah kelahiran.

Mereka pergi dengan harapan, tapi tak jarang mereka pulang dengan keputusasaan. Padahal, dengan potensi alam yang melimpah, seharusnya ada banyak industri kecil dan menengah yang bisa dikembangkan. 

Namun, di mana peran pemerintah dalam menciptakan iklim investasi yang kondusif? Di mana upaya serius untuk membuka lapangan kerja baru?

Kedua, pendidikan. Setelah lebih dari dua dekade, kualitas pendidikan di Madina masih jauh dari memuaskan. Sekolah-sekolah di pelosok masih kekurangan guru, fasilitas belajar yang layak, dan akses terhadap teknologi.


Anak-anak di desa-desa terpencil masih harus berjuang untuk mendapatkan pendidikan yang berkualitas. Padahal, pendidikan adalah kunci untuk membuka pintu kemajuan. 

Tanpa pendidikan yang baik, bagaimana generasi muda Madina bisa bersaing di era globalisasi? Bagaimana mereka bisa menjadi agen perubahan untuk daerahnya sendiri?

Ketiga, infrastruktur. Jalan-jalan yang rusak, listrik yang sering padam, dan air bersih yang sulit didapat masih menjadi masalah sehari-hari bagi warga Madina.

Padahal, infrastruktur yang baik adalah tulang punggung pembangunan. Tanpa jalan yang layak, bagaimana hasil pertanian dan perikanan bisa dipasarkan? Tanpa listrik yang stabil, bagaimana industri kecil bisa berkembang? Tanpa air bersih, bagaimana warga bisa hidup sehat dan produktif?

Keempat, politik. Sudah empat bupati memimpin, tapi perubahan yang berarti belum juga terlihat. Bahkan, pada Pilkada 2024, yang terpilih adalah pasangan yang sudah lama berada di lingkaran kekuasaan.

Saipullah Nasution dan Atika Azmi Utammi bukanlah nama baru di panggung politik Madina. Atika, yang sebelumnya menjabat sebagai wakil bupati, seharusnya sudah paham betul dengan masalah yang dihadapi kabupaten ini.

Pertanyaannya, apakah kepemimpinan mereka akan membawa angin segar? Ataukah hanya akan menjadi kelanjutan dari status quo yang sudah berlangsung selama ini?

Pertanyaan besar lagi yang harus dijawab adalah: apa yang sebenarnya menghambat kemajuan Madina? Apakah kurangnya visi dari para pemimpin? Ataukah sistem yang tidak mendukung? Atau mungkin, budaya birokrasi yang korup dan tidak efisien?

Apa pun penyebabnya, yang jelas, rakyat Madina sudah terlalu lama menunggu perubahan. Mereka sudah terlalu lama hidup dalam ketidakpastian, dalam harapan yang terus-menerus tertunda.

26 Tahun Bukan Lagi Jadi Alasan Daerah Baru


Dua puluh enam tahun seharusnya sudah cukup untuk membawa perubahan yang berarti. Tapi, Madina masih terjebak dalam lingkaran stagnansi.

Lapangan kerja masih sempit, pendidikan masih tertinggal, infrastruktur masih buruk, dan politik masih jauh dari kata bersih. Padahal, potensi untuk maju ada.

Sumber daya alam melimpah, sumber daya manusia—jika diberi kesempatan—bisa bersaing. Tapi, semua itu membutuhkan kepemimpinan yang visioner, yang berani mengambil langkah-langkah besar untuk perubahan.

Kini, dengan terpilihnya Saipullah Nasution dan Atika Azmi Utammi, harapan baru muncul. Tapi, harapan itu harus dibarengi dengan tindakan nyata.

Mereka harus membuktikan bahwa kepemimpinan mereka berbeda dari yang sebelumnya. Mereka harus berani melakukan terobosan, memberantas korupsi, dan memprioritaskan kepentingan rakyat. Jika tidak, Madina akan tetap seperti ini: gitu-gitu aja.

Dua puluh enam tahun sudah berlalu. Sudah waktunya Madina bangkit. Sudah waktunya rakyat Madina merasakan kemajuan yang sesungguhnya.

Sudah waktunya para pemimpin membuktikan bahwa mereka layak memegang amanah. Karena, jika tidak, maka dua puluh enam tahun berikutnya akan sama saja: stagnan, tanpa perubahan, tanpa harapan. Dan itu adalah mimpi buruk yang tidak boleh terjadi.
26 Tahun Mandailing Natal, Gitu-gitu Aja 26 Tahun Mandailing Natal, Gitu-gitu Aja Dilihat Mata Madina 99 di Maret 02, 2025 Rating: 5