Subscribe Us

Dulu Aktivis, Sekarang Jadi Pengemis





Ditulis oleh: Maratogu Halomoan Hasibuan (Mantan Mahasiswa)

Matamadina99 - Ada sebuah ironi yang terus menggelinding bak bola api dalam lorong-lorong sejarah pergerakan mahasiswa. Mereka yang dulu bersuara lantang, berteriak tentang keadilan, membela rakyat kecil, dan mengutuk ketimpangan, kini diam-diam menggadaikan idealismenya di meja-meja kekuasaan.

Mereka yang dulu berjalan beriringan dengan massa, mengangkat poster-poster berisi tuntutan, kini duduk manis di kursi empuk, menikmati hidangan yang disajikan oleh para penguasa yang dulu mereka kritik habis-habisan.

Mereka adalah para mantan aktivis yang perlahan berubah menjadi pengemis. Bukan pengemis yang meminta-minta di pinggir jalan, melainkan pengemis yang merangkul-rangkul kekuasaan, memohon-mohon jabatan, dan menjual harga diri demi secuil kenyamanan.

Mereka adalah jiwa-jiwa hipokrit yang berbalik 360 derajat, meninggalkan segala prinsip yang dulu mereka agung-agungkan.

Dari Jalanan ke Istana


Saat menjadi mahasiswa, mereka adalah pahlawan-pahlawan tanpa tanda jasa. Mereka adalah suara-suara yang berani melawan tirani, mengkritik kebijakan yang tidak pro-rakyat, dan menuntut perubahan.

Menjadi garda terdepan dalam aksi-aksi demonstrasi, berteriak lantang tentang keadilan sosial, hak asasi manusia, dan perlawanan terhadap korupsi. Menjadi  simbol perlawanan, harapan bagi rakyat kecil yang terpinggirkan.

Namun, setelah keluar dari kampus, setelah gelar sarjana diraih, perlahan tapi pasti, mereka mulai melupakan jalan yang pernah mereka pijak. Mereka mulai melupakan rakyat kecil yang dulu mereka bela. 

Para 'mantan aktivis' ini mulai melupakan teman-teman seperjuangan yang masih setia berjuang di jalanan. Dengan modal idealisme yang digadaikan, para alumnus perguruan tinggi itu mulai melirik kekuasaan, melihatnya sebagai tujuan, bukan lagi sebagai musuh yang harus dikritik.

Mereka yang dulu mengutuk korupsi, kini diam-diam menerima setumpuk uang sebagai "uang transportasi" dalam rapat-rapat proyek. Mereka yang dulu mengecam nepotisme, kini dengan mudahnya menempatkan saudara atau kawan dekat di posisi-posisi strategis.

Mereka yang dulu berteriak tentang transparansi, kini justru menjadi bagian dari sistem yang penuh dengan ketidakjelasan.

Idealisme yang Terjual


Idealisme, kata yang dulu begitu sakral di mulut para mantan mahasiswa itu, kini hanya menjadi kenangan. Idealisme yang dulu dipegang teguh, kini dijual dengan harga murah. 

Tak pernah berpikir dua kali untuk rela menggadaikan prinsip-prinsip yang dulu mereka perjuangkan hanya untuk mendapatkan secuil kekuasaan. Mereka rela menjadi peliharaan penguasa, mengikuti segala perintah, dan membungkam suara kritis yang dulu selalu mereka lantangkan.

Mereka yang dulu mengkritik kebijakan pemerintah, kini justru menjadi bagian dari pemerintah. Mereka yang dulu menuntut pertanggungjawaban, kini justru menghindar dari pertanyaan-pertanyaan kritis.

Saat dulu berjuang untuk rakyat, kini justru menjauh dari rakyat. Mereka menjadi pengemis, bukan pengemis yang meminta-minta di jalanan, melainkan pengemis yang memohon-mohon jabatan, proyek, dan kekuasaan. 

Mereka menjadi pengemis yang rela menjual harga diri, prinsip, dan idealisme hanya untuk mendapatkan tempat di sisi penguasa.

Kritik sebagai Tiket Menuju Kekuasaan


Yang lebih memilukan, kritik-kritik tajam yang dulu mereka sampaikan seolah hanya dijadikan sebagai tiket untuk mendekati kekuasaan. Mereka menggunakan aksi-aksi demonstrasi, tulisan-tulisan kritis, dan pidato-pidato berapi-api sebagai modal untuk menarik perhatian penguasa.

Seolah berkata mulutnya, "Lihatlah saya, saya adalah orang yang berani mengkritik. Saya adalah orang yang peduli dengan rakyat. Maka, berikanlah saya jabatan, berikanlah saya kekuasaan." Dan ketika kekuasaan itu didapat, mereka pun berubah.

Para 'pengemis' ini menjadi bagian dari sistem yang dulu mereka kritik. Mereka menjadi bagian dari ketidakadilan yang dulu mereka lawan. Mereka menjadi bagian dari korupsi yang dulu mereka kutuk.

Apa yang Tersisa?


Lalu, apa yang tersisa dari mereka? Apa yang tersisa dari para mantan aktivis yang kini menjadi pengemis kekuasaan? Yang tersisa hanyalah kenangan.

Kenangan tentang masa-masa ketika mereka masih berjuang, ketika mereka masih memiliki idealisme, ketika mereka masih menjadi suara bagi rakyat kecil.
Tapi kenangan itu pun perlahan memudar, tertutup oleh gemerlap kekuasaan, oleh nikmatnya jabatan, dan oleh manisnya proyek-proyek yang mereka dapat.

Mereka mungkin masih sesekali berbicara tentang keadilan, tentang hak rakyat, tentang perlawanan terhadap korupsi. Tapi itu hanya sekadar retorika, sekadar pencitraan, sekadar upaya untuk menutupi hipokrisi mereka.

Demikianlah kisah seorang atau beberapa orang yang dulu aktivis, kini menjadi pengemis. Mereka yang dulu berjuang untuk rakyat, kini justru menjauh dari rakyat.

Mereka yang dulu mengkritik kekuasaan, kini justru menjadi bagian dari kekuasaan. Inilah ironi yang terus menggelinding, ironi yang membuat kita bertanya: Apakah masih ada yang bisa dipercaya dari para mantan aktivis?

Apakah masih ada yang bisa diharapkan dari mereka yang dulu berjuang, tapi kini justru menjadi pengemis kekuasaan?
Mungkin jawabannya ada pada mereka yang masih setia berjuang, pada mereka yang masih memegang teguh idealismenya, pada mereka yang masih berdiri di jalanan, berteriak lantang tentang keadilan, dan membela rakyat kecil.

Mereka adalah harapan terakhir, harapan bahwa tidak semua aktivis akan berubah menjadi pengemis. Harapan bahwa masih ada yang bisa dipercaya, masih ada yang bisa diharapkan, masih ada yang akan terus berjuang untuk rakyat, tanpa harus menggadaikan idealisme mereka.
Dulu Aktivis, Sekarang Jadi Pengemis Dulu Aktivis, Sekarang Jadi Pengemis Dilihat Rosikin Daulay di Februari 24, 2025 Rating: 5